Latar
Belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan Partai Komunis
terbesar ketiga pasca Perang Dunia ke II, setelah Partai Komunis yang ada di
Uni Soviet (sekarang Rusia) dan Tiongkok. Oleh karenanya, tidak mengherankan
jika pengaruhnya lumayan luas dan kuat di dalam pemerintahan Indonesia pasca PD
II. PKI mempunyai banyak cabang-cabang organisasi dengan spesialisasi tertentu,
seperti Gerwani untuk perkumpulan wanita, dan Barisan Tani Indonesia untuk
golongan petani. Bisa dibilang, PKI merupakan perpajangan tangan Soekarno dengan
dukungan penuhnya bagi setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Sistem
pemerintahan “Demokrasi Terpimpin”-nya, bahkan mempunyai konsepsi menyatukan
tiga kekuatan ideologi yang sama-sama kuat pada saat itu, yaitu NASAKOM (Nasionalis,
Agama, Komunis).
Pada kunjungan Menteri Luar Negeri
Subandrio ke Tiongkok, Perdana menteri saat itu, Zhou Enlai, menawarkan sekitar
seratus ribu senjata api atas dukungannya dalam perkembangan paham komunis di
Indonesia. Akibatnya, muncullah ide dari Soekarno atas pengaruh
PKI untuk mendirikan Angkatan bersenjata ke 5, yaitu beranggotakan buruh dan
tani (sebagai simbol utama Komunisme). Tetapi tentu saja ini merupakan ide yang
tak masuk akal, mengetahui bahwa besarnya tanggung jawab kepenggunaan senjata
api, serta minimnya pelatihan bagi buruh dan tani untuk menggunakan senjata. Akhirnya,
berkat petinggi Angkatan Darat, Ahmad Yani, ide ini pun meredup seiring
bergulirnya waktu.
Karena pengaruh PKI yang
benar-benar mengutamakan peran petani dan buruh sebagai pondasi negara, muncul
bentrokan-bentrokan yang digagas oleh para petani berkat provokasi dari PKI,
yang menyatakan bahwa petani berhak memiliki semua tanah siapapun, karena semua
tanah adalah milik kepentingan bersama.
Pada permulaan 1965, PKI mulai
benar-benar masuk dalam sistem kepemerintahan, bersanding dengan para jenderal
Angakatan Darat yang menduduki jabatan-jabatan setingkat menteri. Dalam
pengaruhnya di kabinet, orang-orang PKI menyebarkan ilusi berbahaya mengenai
revolusi bersenjata dengan membentuk rezim militer yang mencakup Angkatan ke-5.
Sejak tahun 1964, isu sakitya
Soekarno benar-benar merebak di seantero negeri. Hal ini meningkatkan
kasak-kusuk mengenai penggantian Soekarno sebagai presiden RI. Ada dua kubu
dalam pemerintahan yang benar-benar memanfaatkan dan merencanakan hal ini,
yaitu PKI dan Angkatan Darat.
Beberapa faktor memicu Gerakan 30 September/PKI
ini. Diantaranya adalah isu Ganyang Malaysia sebagai protes Soekarno atas
pembentukan negara Federasi Malaysia sebagai bentuk kolonialisme baru di Nusantara.
Soekarno meminta Angkatan Darat untuk memerangi Malaysia, tetapi karena sikap
pesimistis dari petinggi-petinggi Angkatan Darat karena Malaysia dilindungi
oleh Inggris, sehingga Angkatan Darat melakukan perang gerilya di perbatasan
Kalimantan dengan setengah hati yang mengakibatkan kekalahan. Hal ini
dimanfaatkan oleh PKI yang memiliki jaringan luas di dunia internasional, untuk
menjadi pendukung utama gerakan Ganyang Malaysia. Padahal pada masa itu,
keadaan ekonomi Indonesia sangatlah buruk, rakyat kelaparan tetapi Soekarno
masih memberikan anggaran yang sangat besar untuk Angkatan Darat memerangi
Malaysia, sehingga dukungan rakyat kepada Soekarno pun berkurang seiring dengan
ketidaksetujuan masyarakat terhadap kebijakan “Ganyang Malaysia” yang
digulirkan oleh Soekarno. Hal ini juga yang memicu kebencian dan stigma negatif
masyarakat terhadap orang-orang PKI.
Kronologis
Pada 1 Oktober 1965,
enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya yag terkait dibunuh
dalam usaha menghentikan isu kudeta PKI, yang diduga didalangi oleh Letkol.
Untung, pimpinan Cakrabirawa/pengawal istana, karena bergulirnya kabar burung
pennggulingan tampuk kekuasaan Soekarno yang akan dikomandoi oleh Angkatan
Darat. Panglima Komando Angkatan Darat saat itu, Mayjen. Soeharto melancarkan
serangan pembalasan menumpas gerakan PKI dan orang-orang yang terlibat
didalamnya. Bisa dibilang, ini merupakan kejahatan kemanusiaan terburuk dalam
sejarah bangsa Indonesia yang dilakukan oleh sesama warga negara.
Korban-korban yang dibunuh oleh pihak PKI adalah:
·
Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III
Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi
sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan
ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan
tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Dampak
Akibat dari penyerangan PKI atas jenderal-jenderal Angkatan Darat, PKI
dapat menguasai RRI berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat dan Kantor
Telekomunikasi (Telkom) yang berlokasi di JaLan Medan Merdeka Selatan, yang
saat itu merupakan dua pusat komunikasi yang vital bagi negara. Dua tempat
tersebut dimaksudkan sebagai pusat PKI untuk menyebarkan pengumuman terkait
Gerakan 30 September dan sebagai alat propaganda mereka.
Pada tanggal 6
Oktober Sukarno mengimbau
rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara
angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik
dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pada tanggal 16
Oktober 1965, Sukarno melantik
Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana
Negara.
Dalam usaha penangkapan oknum-oknum PKI terkait pemberontakan, pemerintah sangat mengusahakan agar tidak terjadi kerenggangan hubungan dengan dunia internasional, terkhusus negara-negara yang menganut paham komunis. Pada Konferensi Tiga Benua di Havana, Kuba, perwakilan dari negara-negara komunis menyatakan komitmennya untuk menghindari pengutukan dan ikut campur secara langsung dalam konflik internal Indonesia.
Dalam usaha penangkapan oknum-oknum PKI terkait pemberontakan, pemerintah sangat mengusahakan agar tidak terjadi kerenggangan hubungan dengan dunia internasional, terkhusus negara-negara yang menganut paham komunis. Pada Konferensi Tiga Benua di Havana, Kuba, perwakilan dari negara-negara komunis menyatakan komitmennya untuk menghindari pengutukan dan ikut campur secara langsung dalam konflik internal Indonesia.
Karena pengaruh
pemberontakan PKI yang masif, dimana oknum-oknum PKI sebelumnya mengadakan
pemberontakan disertai pembunuhan jenderal serta rakyat sipil di daerah-daerah,
serta propaganda pemerintah dalam penumpasan PKI, rakyat yang sebelumnya takut
dan dendam dengan PKI karena pengaruhnya yang besar dalam pemerintahan, karena
hasutan TNI AD setelah jatuhnya kekuasaan PKI di Indonesia, mengadakan operasi
besar-besaran penangkapan dan penginterogasian orang-orang terkait PKI.
Kebanyakan anggota dan simpatisan PKI, yang berkaitan langsung dengan
pemberontakan ataupun tidak, disiksa dan dibunuh di kamp-kamp tahanan di
beberapa daerah. Pembunuhan ini disertai hasutan yang besar dari TNI AD
kepada ormas-ormas sayap kanan, sehingga korban yang timbul semakin banyak. Mayat-mayat
dibuang di sungai-sungai kecil, sehingga sungai penuh dengan darah dan timbul
masalah sanitasi serta pencemaran udara dengan bau mayat. Ironis karena korban
yang ditimbulkan oleh PKI benar-benar “tidak seimbang” dengan korban dari pihak
PKI sendiri, sehingga timbullah anomali siapa sebenarnya penjahat kemanusiaan
yang sesungguhnya.
Pada tanggal Sebelas Maret 1966, dalam dokumen Supersemar (Surat
Perintah Sebelas Maret) yang sampai saat ini masih kontroversial mengenai
keabsahannya karena teks aslinya yang tak jelas keberadaannya, Soekarno memberikan
kekuasaan tak terbatas kepada Soeharto untuk menggantikannya serta membuat
situasi di Indonesia kondusif kembali. Setelah penyerahan kekuasaan tersebut,
Soeharto memanfaatkan kekuasaan tak terbatasnya dengan pembatasan gerakan PKI
dan memburu Aidit yang lantas diperintahkan untuk dibunuh oleh TNI AD.
Karena kondisi negara Indonesia yang hancur, ekonomi buruk
disertai defisit anggaran, pada Pertemuan Jenwa di Swiss, yang dihadiri
perusahaan-perusahaan multinasional serta perwakilan negara seluruh dunia,
Indonesia benar-benar membuka dirinya untuk kebijakan ekonomi pro-liberal
dengan menawarkan buruh yang melimpah, sumber daya alam dan pasar yang besar.
Jadilah, sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia benar-benar
dibagi-bagikan kepada perusahaan asing untuk dikelola, seperti Freeport di
Papua Barat, Caltex di Riau, seta Mobil Oil di Kepulauan Riau. Hutan-hutan
tropis pun dibabat habis untuk kepentingan industri.
Kesimpulan
Sedikitnya literatur yang menyajikan informasi seimbang
mengenai peristiwa pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965, yang
dipopulerkan oleh Soeharto sebagai G30S/PKI, cukup menyulitkan penulis untuk
menyajikan artikel yang bersifat netral. Tetapi, pemberontakan terhadap
pemerintahan yang sah untuk memaksakan ideologi yang dianut terhadap sistem
kenegaraan tentu saja juga tidak dapat dibenarkan. Sejarah mencatat, mayoritas
kehancuran-kehancuran yang dialami oleh sebagian besar negara di seluruh dunia,
yang memakan korban sangat banyak, didominasi oleh perseturuan ideologi dan
keinginan untuk berkuasa. Rakyat biasa, yang bisa dibilang “bawahan”
pihak-pihak yang berseturu, yang dimanfaatkan jumlahnya untuk kepentingan
politik penguasa, terkena dampak paling besar. Contoh yang paling nyata pasa
masa sekarang adalah konflik perang saudara di Suriah akibat terbenturnya
kepentingan-kepentingan antar-golongan yang berkonfrontasi, yang menganut
paham-paham berbeda. NIIS dengan ideologi khilafahnya, pemerintahan otoriter Bashar
al-Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran, pemberontakan pasukan Kurdi, serta
golongan-golongan menengah yang memiliki kekuatan yang seimbang pula, disertai
masuknya “kekuatan-kekuatan” asing baru karena banyaknya kepentingan di Suriah,
menyebabkan semakin rumitnya situasi di Suriah. Orang-orang lemah dan anak-anak
kecil mendapatkan dampak yang paling parah. Arus pengungsi besar-besaran menuju
Eropa tak dapat dibendung. Ini menunjukkan, ideologi tidak menjamin selalu
menjamin kesejahteraan kehidupan dan penghidupan manusia di dunia. Maka
nilai-nilai kemanusiaan yang selaras dengan alam serta lingkungan seharusnya
menjadi nilai tertinggi yang dianut seluruh manusia di muka bumi.