9.26.2015

G30S/PKI

Latar Belakang

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan Partai Komunis terbesar ketiga pasca Perang Dunia ke II, setelah Partai Komunis yang ada di Uni Soviet (sekarang Rusia) dan Tiongkok. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pengaruhnya lumayan luas dan kuat di dalam pemerintahan Indonesia pasca PD II. PKI mempunyai banyak cabang-cabang organisasi dengan spesialisasi tertentu, seperti Gerwani untuk perkumpulan wanita, dan Barisan Tani Indonesia untuk golongan petani. Bisa dibilang, PKI merupakan perpajangan tangan Soekarno dengan dukungan penuhnya bagi setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Sistem pemerintahan “Demokrasi Terpimpin”-nya, bahkan mempunyai konsepsi menyatukan tiga kekuatan ideologi yang sama-sama kuat pada saat itu, yaitu NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis).

Pada kunjungan Menteri Luar Negeri Subandrio ke Tiongkok, Perdana menteri saat itu, Zhou Enlai, menawarkan sekitar seratus ribu senjata api atas dukungannya dalam perkembangan paham komunis di Indonesia.  Akibatnya, muncullah ide dari Soekarno atas pengaruh PKI untuk mendirikan Angkatan bersenjata ke 5, yaitu beranggotakan buruh dan tani (sebagai simbol utama Komunisme). Tetapi tentu saja ini merupakan ide yang tak masuk akal, mengetahui bahwa besarnya tanggung jawab kepenggunaan senjata api, serta minimnya pelatihan bagi buruh dan tani untuk menggunakan senjata. Akhirnya, berkat petinggi Angkatan Darat, Ahmad Yani, ide ini pun meredup seiring bergulirnya waktu.
Karena pengaruh PKI yang benar-benar mengutamakan peran petani dan buruh sebagai pondasi negara, muncul bentrokan-bentrokan yang digagas oleh para petani berkat provokasi dari PKI, yang menyatakan bahwa petani berhak memiliki semua tanah siapapun, karena semua tanah adalah milik kepentingan bersama.
Pada permulaan 1965, PKI mulai benar-benar masuk dalam sistem kepemerintahan, bersanding dengan para jenderal Angakatan Darat yang menduduki jabatan-jabatan setingkat menteri. Dalam pengaruhnya di kabinet, orang-orang PKI menyebarkan ilusi berbahaya mengenai revolusi bersenjata dengan membentuk rezim militer yang mencakup Angkatan ke-5.
Sejak tahun 1964, isu sakitya Soekarno benar-benar merebak di seantero negeri. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk mengenai penggantian Soekarno sebagai presiden RI. Ada dua kubu dalam pemerintahan yang benar-benar memanfaatkan dan merencanakan hal ini, yaitu PKI dan Angkatan Darat.
Beberapa faktor memicu Gerakan 30 September/PKI ini. Diantaranya adalah isu Ganyang Malaysia sebagai protes Soekarno atas pembentukan negara Federasi Malaysia sebagai bentuk kolonialisme baru di Nusantara. Soekarno meminta Angkatan Darat untuk memerangi Malaysia, tetapi karena sikap pesimistis dari petinggi-petinggi Angkatan Darat karena Malaysia dilindungi oleh Inggris, sehingga Angkatan Darat melakukan perang gerilya di perbatasan Kalimantan dengan setengah hati yang mengakibatkan kekalahan. Hal ini dimanfaatkan oleh PKI yang memiliki jaringan luas di dunia internasional, untuk menjadi pendukung utama gerakan Ganyang Malaysia. Padahal pada masa itu, keadaan ekonomi Indonesia sangatlah buruk, rakyat kelaparan tetapi Soekarno masih memberikan anggaran yang sangat besar untuk Angkatan Darat memerangi Malaysia, sehingga dukungan rakyat kepada Soekarno pun berkurang seiring dengan ketidaksetujuan masyarakat terhadap kebijakan “Ganyang Malaysia” yang digulirkan oleh Soekarno. Hal ini juga yang memicu kebencian dan stigma negatif masyarakat terhadap orang-orang PKI.
Kronologis
Pada 1 Oktober 1965,  enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya yag terkait dibunuh dalam usaha menghentikan isu kudeta PKI, yang diduga didalangi oleh Letkol. Untung, pimpinan Cakrabirawa/pengawal istana, karena bergulirnya kabar burung pennggulingan tampuk kekuasaan Soekarno yang akan dikomandoi oleh Angkatan Darat. Panglima Komando Angkatan Darat saat itu, Mayjen. Soeharto melancarkan serangan pembalasan menumpas gerakan PKI dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Bisa dibilang, ini merupakan kejahatan kemanusiaan terburuk dalam sejarah bangsa Indonesia yang dilakukan oleh sesama warga negara.
Korban-korban yang dibunuh oleh pihak PKI adalah:
·         Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
·         Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
·         Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
·         Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
·         Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
·         Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok GedeJakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
·         Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
·         Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
·         Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Dampak
Akibat dari penyerangan PKI atas jenderal-jenderal Angkatan Darat, PKI dapat menguasai RRI berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi (Telkom) yang berlokasi di JaLan Medan Merdeka Selatan, yang saat itu merupakan dua pusat komunikasi yang vital bagi negara. Dua tempat tersebut dimaksudkan sebagai pusat PKI untuk menyebarkan pengumuman terkait Gerakan 30 September dan sebagai alat propaganda mereka.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara

Dalam usaha penangkapan oknum-oknum PKI terkait pemberontakan, pemerintah sangat mengusahakan agar tidak terjadi kerenggangan hubungan dengan dunia internasional, terkhusus negara-negara yang menganut paham komunis. Pada Konferensi Tiga Benua di Havana, Kuba, perwakilan dari negara-negara komunis menyatakan komitmennya untuk menghindari pengutukan dan ikut campur secara langsung dalam konflik internal Indonesia. 


Karena pengaruh pemberontakan PKI yang masif, dimana oknum-oknum PKI sebelumnya mengadakan pemberontakan disertai pembunuhan jenderal serta rakyat sipil di daerah-daerah, serta propaganda pemerintah dalam penumpasan PKI, rakyat yang sebelumnya takut dan dendam dengan PKI karena pengaruhnya yang besar dalam pemerintahan, karena hasutan TNI AD setelah jatuhnya kekuasaan PKI di Indonesia, mengadakan operasi besar-besaran penangkapan dan penginterogasian orang-orang terkait PKI. Kebanyakan anggota dan simpatisan PKI, yang berkaitan langsung dengan pemberontakan ataupun tidak, disiksa dan dibunuh di kamp-kamp tahanan di beberapa daerah. Pembunuhan ini disertai hasutan yang besar dari TNI AD kepada ormas-ormas sayap kanan, sehingga korban yang timbul semakin banyak. Mayat-mayat dibuang di sungai-sungai kecil, sehingga sungai penuh dengan darah dan timbul masalah sanitasi serta pencemaran udara dengan bau mayat. Ironis karena korban yang ditimbulkan oleh PKI benar-benar “tidak seimbang” dengan korban dari pihak PKI sendiri, sehingga timbullah anomali siapa sebenarnya penjahat kemanusiaan yang sesungguhnya.
Pada tanggal Sebelas Maret 1966, dalam dokumen Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang sampai saat ini masih kontroversial mengenai keabsahannya karena teks aslinya yang tak jelas keberadaannya, Soekarno memberikan kekuasaan tak terbatas kepada Soeharto untuk menggantikannya serta membuat situasi di Indonesia kondusif kembali. Setelah penyerahan kekuasaan tersebut, Soeharto memanfaatkan kekuasaan tak terbatasnya dengan pembatasan gerakan PKI dan memburu Aidit yang lantas diperintahkan untuk dibunuh oleh TNI AD.

Karena kondisi negara Indonesia yang hancur, ekonomi buruk disertai defisit anggaran, pada Pertemuan Jenwa di Swiss, yang dihadiri perusahaan-perusahaan multinasional serta perwakilan negara seluruh dunia, Indonesia benar-benar membuka dirinya untuk kebijakan ekonomi pro-liberal dengan menawarkan buruh yang melimpah, sumber daya alam dan pasar yang besar. Jadilah, sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia benar-benar dibagi-bagikan kepada perusahaan asing untuk dikelola, seperti Freeport di Papua Barat, Caltex di Riau, seta Mobil Oil di Kepulauan Riau. Hutan-hutan tropis pun dibabat habis untuk kepentingan industri.  

Kesimpulan

Sedikitnya literatur yang menyajikan informasi seimbang mengenai peristiwa pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965, yang dipopulerkan oleh Soeharto sebagai G30S/PKI, cukup menyulitkan penulis untuk menyajikan artikel yang bersifat netral. Tetapi, pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah untuk memaksakan ideologi yang dianut terhadap sistem kenegaraan tentu saja juga tidak dapat dibenarkan. Sejarah mencatat, mayoritas kehancuran-kehancuran yang dialami oleh sebagian besar negara di seluruh dunia, yang memakan korban sangat banyak, didominasi oleh perseturuan ideologi dan keinginan untuk berkuasa. Rakyat biasa, yang bisa dibilang “bawahan” pihak-pihak yang berseturu, yang dimanfaatkan jumlahnya untuk kepentingan politik penguasa, terkena dampak paling besar. Contoh yang paling nyata pasa masa sekarang adalah konflik perang saudara di Suriah akibat terbenturnya kepentingan-kepentingan antar-golongan yang berkonfrontasi, yang menganut paham-paham berbeda. NIIS dengan ideologi khilafahnya, pemerintahan otoriter Bashar al-Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran, pemberontakan pasukan Kurdi, serta golongan-golongan menengah yang memiliki kekuatan yang seimbang pula, disertai masuknya “kekuatan-kekuatan” asing baru karena banyaknya kepentingan di Suriah, menyebabkan semakin rumitnya situasi di Suriah. Orang-orang lemah dan anak-anak kecil mendapatkan dampak yang paling parah. Arus pengungsi besar-besaran menuju Eropa tak dapat dibendung. Ini menunjukkan, ideologi tidak menjamin selalu menjamin kesejahteraan kehidupan dan penghidupan manusia di dunia. Maka nilai-nilai kemanusiaan yang selaras dengan alam serta lingkungan seharusnya menjadi nilai tertinggi yang dianut seluruh manusia di muka bumi.