Sutan
Sjahrir
Sutan Sjahrir yang beranjak remaja gemar tampil di depan
orang banyak. Saat menempuh pendidikan lanjutan atas, ia mengikuti perkumpulan
Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia. Dalam pentas-pentasnya tersebut, ia dapat
menghasilkan uang yang kelak dipakainya untuk membangun Tjahja Volksuniversiteit, sebuah universitas untuk orang-orang
tidak mampu, manifestasinya sebagai kepedulian terhadap ketidakberdayaan
masyarakat proletar. Sutan Sjahrir yang
memiliki jiwa sosial yang tinggi menaruh ketertarikan yang besar terhadap
ideologi-ideologi kiri seperti sosialisme dan demokrasi.
Sutan Sjahrir muda melanjutkan jenjang pendidikannya di
Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Pertemuannya dengan mahasiswa dunia yang
memiliki kultur dan cara hidup yang berbeda membuatnya membuka mata dan pikiran
lebar. Kepiawaiannya dalam bersosialisasi membuatnya melatih sedikit demi
sedikit kemampuan diplomasi dan komunikasi yang kelak akan sangat dibutuhkan
bangsa. Karena besarnya arus informasi yang didapat di Belanda, tanpa adanya
halangan dan larangan dari pemerintah Belanda itu sendiri, Sjahrir mendulang
banyak pengetahuan mengenai ideologi-ideologi yang belum pernah ia dengar
sebelumnya, tetapi selaras dan sesuai dengan falsafah hidupnya. Walaupun ia
memiliki ketertarikan yang dominan terhadap sosialisme, terutama sosialis
demokratis, ia tidak tertarik sedikitpun kepada ideologi komunisme yang
menurutnya sebagai cikal bakal dari fasisme. Di Belanda, ia menjalani
keanggotaan Perhimpunan Indonesia, sebuah perkumpulan intelektual pemuda dan
mahasiswa Indonesia yang memimpikan kemandirian dan keberdayaan bangsa
Indonesia melawan penjajahan. Di Indonesia, ia menjadi salah satu penggagas
perkumpulan pemuda nasionalis Jong
Indonesie yang nantinya berubah menjadi Pemuda Indonesia.
Kembali ke Indonesia yang masih berada dalam kungkungan
Belanda tidak menyurutkan langkahnya menghimpun kekuatan pemberontakan. Bersama
PNI Baru, ia memelopori gerakan-gerakan semi-revolusioner yang menurut
pemerintah Belanda membahayakan kepentingan mereka. Keberpihakannya terhadap
kaum buruh ditunjukkan dengan tulisan-tulisannya di Daulat Rakjat, majalah yang dimotori oleh PNI Baru. Ia berpendapat bahwa konflik
antar kelas tidak membuat kapitalisme runtuh, tetapi kapitalisme akan
mengadopsi kepentingan buruh. Oleh karenanya, perjuangan buruh harus melalui
cara yang demokratis, tidak perlu dicapai dengan cara revolusi atau ekonomi
komando ala lenin-stalin. Selain itu, totalisme kanan yang cenderung fasis juga
harus dilawan. Karena gerakan-gerakannya di PNI Baru yang dikhawatirkan
pemerintah Belanda akan memicu peristiwa revolusioner, ia diasingkan ke
Boven-Digoel selama setahun dan dipindahkan ke Banda Neira bersama Hatta dan
pejabat PNI Baru lainnya. Ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun
1948 sekaligus mengetuainya.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya
tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada
persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan
bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk
menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu
akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan." Dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang
Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah
fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita."
Pada
masa pendudukan Jepang, berbeda dengan Soekarno dan Hatta, Syahrir yakin Jepang
akan kalah melawan sekutu sehingga sedari awal ia sudah membangun pergerakan
bawah tanah anti-fasis yang akan menggulingkan pendudukan Jepang. Syahrir, bersama pemuda yang lain, menculik
Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak mereka segera
memproklamasikan kemerdekaan dari tangan Jepang, untuk menghindari anggapan
kemerdekaan Indonesia hasil dari pemberian Jepang.
Ada satu cerita
perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung
Desember 1946, Syahrir yang menjabat Perdana Menteri dicegat dan ditodong
pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet.
Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian
tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata
sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa
berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para
pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli. Syahrir melihat ketidakadilan dalam
kolonialisme Belanda, tapi lebih mementingkan pengertian daripada mengembangkan
rasa benci terhadap bangsa Belanda dan dunia Barat. Syahrir menempuh cara diplomasi dalam
menghadapi Belanda untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional,
terutama pihak Barat, kepada RI. Jika Bung Karno dicap kolaborator Jepang, oleh
musuhnya Syahrir dicap lembek terhadap Belanda.
Meski jatuh-bangun
akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur
diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan
jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara.
Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak
Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal
ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah
RI.
Kepiawaiannya dalam
hubungan internasional mengantarkannya menjadi Duta Besar Keliling Indonesia
dan menjadi perwakilan Indonesia dalam berbagai forum-forum internasional. Ia
juga mengusulkan dibentuknya perwakilan Indonesia dalam bentuk Kedutaan Besar
di luar negeri dan PBB. Sistem multipartai dan politik bebas aktif yang dianut
bangsa Indonesia juga merupakan buah pikirannya.
M.
Chatib Basri menyatakan :” SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi
zamannya. Mungkin ia terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah
tungku yang memanggang anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru
datang dengan sesuatu yang mendinginkan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional
tidak final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang
bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya dalam
kebebasan, tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju
cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus tunduk kepada
kepentingan demokrasi.”
Sutan Sjahrir menjadi
tawanan politik karena perseteruannya dengan Soekarno. Karena penyakit, ia
menjalani pengobatan di Zurich, Swiss dan meninggal disana pada tanggal 9 April
1966. Walaupun meninggal sebagai tahanan politik, ia tetap dipulangkan sebagai
pahlawan dan dimakamkan di TMP Kalibata.
Sumber:
Anwar, Rosihan;
Sutan
Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan 1906-1966
Sinarharapan.co
Serbasejarah.wordpress.com