3.24.2016

Bung Kecil yang Bervisi Besar

Sutan Sjahrir
Padang Panjang, 36 tahun sebelum Indonesia lepas dari cengkeraman penjajah, lahirlah seorang calon pahlawan revolusi Indonesia, sang penentang ketidakadilan dan kekerasan. 5 Maret, tanggal lahir sang perdana menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir.  Ia mengenyam sekolah dasar dan sekolah menengah terbaik di Medan, sehingga mendapat akses lebih buku dan novel terbitan Belanda. Pegiat pendidikan perempuan Sumatra Barat, Rohana Kudus, adalah saudara seayahnya.
Sutan Sjahrir yang beranjak remaja gemar tampil di depan orang banyak. Saat menempuh pendidikan lanjutan atas, ia mengikuti perkumpulan Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia. Dalam pentas-pentasnya tersebut, ia dapat menghasilkan uang yang kelak dipakainya untuk membangun Tjahja Volksuniversiteit, sebuah universitas untuk orang-orang tidak mampu, manifestasinya sebagai kepedulian terhadap ketidakberdayaan masyarakat proletar. Sutan Sjahrir  yang memiliki jiwa sosial yang tinggi menaruh ketertarikan yang besar terhadap ideologi-ideologi kiri seperti sosialisme dan demokrasi.
Sutan Sjahrir muda melanjutkan jenjang pendidikannya di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Pertemuannya dengan mahasiswa dunia yang memiliki kultur dan cara hidup yang berbeda membuatnya membuka mata dan pikiran lebar. Kepiawaiannya dalam bersosialisasi membuatnya melatih sedikit demi sedikit kemampuan diplomasi dan komunikasi yang kelak akan sangat dibutuhkan bangsa. Karena besarnya arus informasi yang didapat di Belanda, tanpa adanya halangan dan larangan dari pemerintah Belanda itu sendiri, Sjahrir mendulang banyak pengetahuan mengenai ideologi-ideologi yang belum pernah ia dengar sebelumnya, tetapi selaras dan sesuai dengan falsafah hidupnya. Walaupun ia memiliki ketertarikan yang dominan terhadap sosialisme, terutama sosialis demokratis, ia tidak tertarik sedikitpun kepada ideologi komunisme yang menurutnya sebagai cikal bakal dari fasisme. Di Belanda, ia menjalani keanggotaan Perhimpunan Indonesia, sebuah perkumpulan intelektual pemuda dan mahasiswa Indonesia yang memimpikan kemandirian dan keberdayaan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Di Indonesia, ia menjadi salah satu penggagas perkumpulan pemuda nasionalis Jong Indonesie yang nantinya berubah menjadi Pemuda Indonesia.
Kembali ke Indonesia yang masih berada dalam kungkungan Belanda tidak menyurutkan langkahnya menghimpun kekuatan pemberontakan. Bersama PNI Baru, ia memelopori gerakan-gerakan semi-revolusioner yang menurut pemerintah Belanda membahayakan kepentingan mereka. Keberpihakannya terhadap kaum buruh ditunjukkan dengan tulisan-tulisannya di Daulat Rakjat, majalah yang dimotori oleh PNI Baru.  Ia berpendapat bahwa konflik antar kelas tidak membuat kapitalisme runtuh, tetapi kapitalisme akan mengadopsi kepentingan buruh. Oleh karenanya, perjuangan buruh harus melalui cara yang demokratis, tidak perlu dicapai dengan cara revolusi atau ekonomi komando ala lenin-stalin. Selain itu, totalisme kanan yang cenderung fasis juga harus dilawan. Karena gerakan-gerakannya di PNI Baru yang dikhawatirkan pemerintah Belanda akan memicu peristiwa revolusioner, ia diasingkan ke Boven-Digoel selama setahun dan dipindahkan ke Banda Neira bersama Hatta dan pejabat PNI Baru lainnya. Ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948 sekaligus mengetuainya.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."  Dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." 

 

Pada masa pendudukan Jepang, berbeda dengan Soekarno dan Hatta, Syahrir yakin Jepang akan kalah melawan sekutu sehingga sedari awal ia sudah membangun pergerakan bawah tanah anti-fasis yang akan menggulingkan pendudukan Jepang.  Syahrir, bersama pemuda yang lain, menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak mereka segera memproklamasikan kemerdekaan dari tangan Jepang, untuk menghindari anggapan kemerdekaan Indonesia hasil dari pemberian Jepang.

 

Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Syahrir yang menjabat Perdana Menteri dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli. Syahrir melihat ketidakadilan dalam kolonialisme Belanda, tapi lebih mementingkan pengertian daripada mengembangkan rasa benci terhadap bangsa Belanda dan dunia Barat. Syahrir menempuh cara diplomasi dalam menghadapi Belanda untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional, terutama pihak Barat, kepada RI. Jika Bung Karno dicap kolaborator Jepang, oleh musuhnya Syahrir dicap lembek terhadap Belanda. 
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Kepiawaiannya dalam hubungan internasional mengantarkannya menjadi Duta Besar Keliling Indonesia dan menjadi perwakilan Indonesia dalam berbagai forum-forum internasional. Ia juga mengusulkan dibentuknya perwakilan Indonesia dalam bentuk Kedutaan Besar di luar negeri dan PBB. Sistem multipartai dan politik bebas aktif yang dianut bangsa Indonesia juga merupakan buah pikirannya.
M. Chatib Basri menyatakan :” SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi zamannya. Mungkin ia terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah tungku yang memanggang anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru datang dengan sesuatu yang mendinginkan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional tidak final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya dalam kebebasan, tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi.”
Sutan Sjahrir menjadi tawanan politik karena perseteruannya dengan Soekarno. Karena penyakit, ia menjalani pengobatan di Zurich, Swiss dan meninggal disana pada tanggal 9 April 1966. Walaupun meninggal sebagai tahanan politik, ia tetap dipulangkan sebagai pahlawan dan dimakamkan di TMP Kalibata.


Sumber:

Anwar, Rosihan; Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan 1906-1966

Sinarharapan.co
Serbasejarah.wordpress.com